Rabu, 13 Juli 2016

Random Thought: Tentang Nikmat yang (Seharusnya) Selalu Disyukuri


Peringatan: Ini benar-benar acak!


Bahagia itu sederhana. Kamu cukup melihat sekitar sedikit lebih detail, maka kamu akan langsung menemukannya. Seperti aku pagi kemarin. Sudah pukul setengah sembilan, namun sinar mentari pagi itu belum juga terlihat. Agaknya, si awan mendung lebih suka mendominasi langit Kulonprogo esok itu. Namun bukan suram yang kurasakan, tapi damai. Ditambah suara bocah-bocah yang bermain bulutangkis di halaman samping rumah dan suara kokok ayam yang sesekali masih terdengar (mungkin kiranya mereka itu masih subuh) membuat pagi itu terasa damai untukku. Mendengar gelak tawa mereka, terlepas dari gadget tentunya, merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri. Membuatku mengingat masa kecil bermain petak umpet dan lompat tali dengan teman sampai sore.

Kemarin, aku bertemu dengan seorang teman lama di sebuah apotek. Bukan, dia bukan sedang sakit. Dia berada di sana karena dia berkerja di tempat tersebut. Aku yang datang bersama ibu membeli sebuah obat langsung tertegun. Jadi dia sudah bekerja di saat yang lain masih merayakan Idul Fitri?

Di perjalanan pulang aku kembali berfikir. Enaknya dia dan teman-teman lain yang sudah bekerja. Tidak perlu meminta uang dari orangtua lagi. Kedewasaannya juga terlihat lebih matang dibanding kita-kita yang masih sekolah/kuliah. Dan aku merasa malu karena masih begini-begini saja. Masih meminta uang dari orangtua untuk hal apapun.

Lalu aku ceritakan kegelisahanku itu pada salah seorang sahabat melalui sebuah aplikasi chatting. Setelah aku menceritakan semua pikiranku tadi dia lalu membalasnya dengan kata-kata yang sebenarnya sederhana, tapi sangat menohokku.
“Pasti di batin mereka ‘enak ya dini bisa kuliah’,” tulis teman tersebut.
“Di usia kita sebenarnya belum pantes kerja Din, belajar dulu,” lanjutnya.

Benar juga. Kita seharusnya memang mengusahakkan pendidikan yang tinggi terlebih dahulu, bagaimana pun keadaannya. Karena, meski pendidikan yang tinggi tidak bisa menjamin kita pasti sukses di masa depan, tetapi setidaknya pendidikan yang tinggi akan membawa kita pada pekerjaan yang lebih baik di banding yang tidak berkerja.

Betapa kurang bersyukurnya diri ini. Padahal baru kemarin aku baru menangis karena Allah masih berkenan menutupi semua aib-aibku dan tiba-tiba siangnya aku salah mengartikan petunjuknya jika saja aku tidak berbicara dengan temanku.

Oh ya, tentang pertemanan. Malam ini aku mendapatkan satu lagi pelajaran mengenai hal ini. Bahwa dalam berteman aku haruslah bersabar, pemaaf, dan ikhlas karena sesungguhnya waktu yang akan menjawab semuanya. Menjawab semua kegelisahanku, pertanyaanku, dan marahku. Bahwa dalam berteman aku tidak boleh mengenggam terlalu kuat, namun biarkan mereka bebas sekehendak mereka. Jika benar-benar teman sejati, semua pasti akan kembali erat.

Sekali lagi, bahagia itu sungguh sederhana. Bahagia itu cukup dengan menikmati malam di ruangan kepunyaan ditemani penerangan yang berasal dari lampu belajar dan layar laptop, lagu-lagu favorit, jari-jari yang menari-nari di atas keyboard, dan pemikiran akan nikmat yang tiada henti telah dan akan selalu diberikan Allah untuk aku dan seluruh umatnya. Oh ya, jangan lupakan tentang asyiknya mencari kata-kata yang baku di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan juga membuka tesaurus bahasa indonesia. Dan harapan-harapan untuk lebih sering menulis. Dan mencari-cari gambar yang cocok untuk tulisan ini. Dan kenikmatan-kenikmatan lain. Alhamdulillah. Harus selalu bersyukur apa pun dan bagaimana pun keadaannya.

credit: here


Kulonprogo, 13 Juli 2016
23:36



Selasa, 12 Juli 2016

Coretan Lain

Aku rindu menulis. Rasanya sudah seabad aku tidak menulis. Teringat ketika waktu lalu di mana setiap harinya aku sangat bersemangat menulis. Apapun itu.

Kini, aku sedang berada pada masa-masa kritis. Di mana aku diharuskan untuk bertindak, mau tidak mau. Berpikir, suka tidak suka. Mempertimbangkan semua hal dengan masak-masak. Agar tak terjatuh di masa yang akan datang.

Seringnya, aku hanya ingin, tanpa tindakan yang berarti. Mengaku sudah berupaya keras, namun ternyata hanya bermalas-malasan seharian di ruanganku...

Kata seseorang, menjadi dewasa berarti akan semakin jarang tersenyum. Maka dari itu kita harus memaksakan untuk terus tersenyum, dalam keadaan paling menyakitkan sekalipun. Aku memaknai pernyataan itu sebagai suatu hal yang ada benarnya. Mungkin semakin bertambah umur kita, akan semakin banyak penderitaan yang kita alami, semakin terjal jalan yang akan kita lewati, semakin banyak teman yang datang-juga pergi. Kata orang bijak, semua itu harusnya bisa kita ambil pelajaran, pelajaran dari segala kesakitan, kesulitan, dan kehilangan.

Aku sering berpikir begitu. Bahwa segala kejadian memang bisa diambil pelajaran. Bahwa semua kejadian buruk yang kualami selama ini, adalah proses menuju aku yang dewasa. Namun, aku juga sering berpikir bagaikan seorang yang frustasi. Sakit hati, marah, benci, malu atas semua yang terjadi. Membenci orang-orang yang menyakitiku, iri dengan orang-orang yang lebih daripada aku. Sering.

Tapi aku akhirnya sadar, jika momen-momen yang menyakitkan itu akan berlalu. Sakitnya, tersembuhkan oleh waktu. Meski masih terekam dalam memori. Sebagian masih jelas, sebagian kabur. Memafkan, berdamai. Kemudian ada masa-masa di mana hidup terasa membahagiakan. Kemudian datar. Dan kemudian, masuk kembali dalam momen penderitaan.

Tapi seharusnya, aku tidak kalah kan dengan momen? Tidak seharusnya aku menyerah pada keadaan, kan? Justru sebaliknya, harusnya aku bisa menikmati segala hal tersebut.

credit : favim.com



-Dibuang sayang,

  3/12/2014