Peringatan: Ini benar-benar acak!
Bahagia itu sederhana. Kamu cukup
melihat sekitar sedikit lebih detail, maka kamu akan langsung menemukannya.
Seperti aku pagi kemarin. Sudah pukul setengah sembilan, namun sinar mentari
pagi itu belum juga terlihat. Agaknya, si awan mendung lebih suka mendominasi
langit Kulonprogo esok itu. Namun bukan suram yang kurasakan, tapi damai.
Ditambah suara bocah-bocah yang bermain bulutangkis di halaman samping rumah
dan suara kokok ayam yang sesekali masih terdengar (mungkin kiranya mereka itu
masih subuh) membuat pagi itu terasa damai untukku. Mendengar gelak tawa
mereka, terlepas dari gadget tentunya, merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri.
Membuatku mengingat masa kecil bermain petak umpet dan lompat tali dengan teman
sampai sore.
Kemarin, aku bertemu dengan
seorang teman lama di sebuah apotek. Bukan, dia bukan sedang sakit. Dia berada
di sana karena dia berkerja di tempat tersebut. Aku yang datang bersama ibu
membeli sebuah obat langsung tertegun. Jadi dia sudah bekerja di saat yang lain
masih merayakan Idul Fitri?
Di perjalanan pulang aku kembali berfikir. Enaknya dia dan teman-teman lain yang sudah bekerja. Tidak perlu meminta uang dari orangtua lagi. Kedewasaannya juga terlihat lebih matang dibanding kita-kita yang masih sekolah/kuliah. Dan aku merasa malu karena masih begini-begini saja. Masih meminta uang dari orangtua untuk hal apapun.
Lalu aku ceritakan kegelisahanku
itu pada salah seorang sahabat melalui sebuah aplikasi chatting. Setelah aku
menceritakan semua pikiranku tadi dia lalu membalasnya dengan kata-kata yang
sebenarnya sederhana, tapi sangat menohokku.
“Pasti di batin mereka ‘enak ya
dini bisa kuliah’,” tulis teman tersebut.
“Di usia kita sebenarnya belum
pantes kerja Din, belajar dulu,” lanjutnya.
Benar juga. Kita seharusnya
memang mengusahakkan pendidikan yang tinggi terlebih dahulu, bagaimana pun
keadaannya. Karena, meski pendidikan yang tinggi tidak bisa menjamin kita pasti
sukses di masa depan, tetapi setidaknya pendidikan yang tinggi akan membawa
kita pada pekerjaan yang lebih baik di banding yang tidak berkerja.
Betapa kurang bersyukurnya diri
ini. Padahal baru kemarin aku baru menangis karena Allah masih berkenan
menutupi semua aib-aibku dan tiba-tiba siangnya aku salah mengartikan
petunjuknya jika saja aku tidak berbicara dengan temanku.
Oh ya, tentang pertemanan. Malam ini
aku mendapatkan satu lagi pelajaran mengenai hal ini. Bahwa dalam berteman aku haruslah
bersabar, pemaaf, dan ikhlas karena sesungguhnya waktu yang akan menjawab
semuanya. Menjawab semua kegelisahanku, pertanyaanku, dan marahku. Bahwa dalam
berteman aku tidak boleh mengenggam terlalu kuat, namun biarkan mereka bebas
sekehendak mereka. Jika benar-benar teman sejati, semua pasti akan kembali erat.
Sekali lagi, bahagia itu sungguh
sederhana. Bahagia itu cukup dengan menikmati malam di ruangan kepunyaan
ditemani penerangan yang berasal dari lampu belajar dan layar laptop, lagu-lagu
favorit, jari-jari yang menari-nari di atas keyboard, dan pemikiran akan nikmat
yang tiada henti telah dan akan selalu diberikan Allah untuk aku dan seluruh
umatnya. Oh ya, jangan lupakan tentang asyiknya mencari kata-kata yang baku di Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan juga membuka tesaurus bahasa indonesia. Dan harapan-harapan
untuk lebih sering menulis. Dan mencari-cari gambar yang cocok untuk tulisan
ini. Dan kenikmatan-kenikmatan lain. Alhamdulillah. Harus selalu
bersyukur apa pun dan bagaimana pun keadaannya.
![]() |
credit: here |
Kulonprogo, 13 Juli 2016
23:36
True din apa kata temenmu
BalasHapus