Aku rindu
menulis. Rasanya sudah seabad aku tidak menulis. Teringat ketika waktu lalu di
mana setiap harinya aku sangat bersemangat menulis. Apapun itu.
Kini, aku sedang berada pada masa-masa kritis. Di mana aku diharuskan untuk bertindak, mau tidak mau. Berpikir, suka tidak suka. Mempertimbangkan semua hal dengan masak-masak. Agar tak terjatuh di masa yang akan datang.
Seringnya, aku hanya ingin, tanpa tindakan yang berarti. Mengaku sudah berupaya keras, namun ternyata hanya bermalas-malasan seharian di ruanganku...
Kata seseorang, menjadi dewasa berarti akan semakin jarang tersenyum. Maka dari itu kita harus memaksakan untuk terus tersenyum, dalam keadaan paling menyakitkan sekalipun. Aku memaknai pernyataan itu sebagai suatu hal yang ada benarnya. Mungkin semakin bertambah umur kita, akan semakin banyak penderitaan yang kita alami, semakin terjal jalan yang akan kita lewati, semakin banyak teman yang datang-juga pergi. Kata orang bijak, semua itu harusnya bisa kita ambil pelajaran, pelajaran dari segala kesakitan, kesulitan, dan kehilangan.
Aku sering berpikir begitu. Bahwa segala kejadian memang bisa diambil pelajaran. Bahwa semua kejadian buruk yang kualami selama ini, adalah proses menuju aku yang dewasa. Namun, aku juga sering berpikir bagaikan seorang yang frustasi. Sakit hati, marah, benci, malu atas semua yang terjadi. Membenci orang-orang yang menyakitiku, iri dengan orang-orang yang lebih daripada aku. Sering.
Tapi aku akhirnya sadar, jika momen-momen yang menyakitkan itu akan berlalu. Sakitnya, tersembuhkan oleh waktu. Meski masih terekam dalam memori. Sebagian masih jelas, sebagian kabur. Memafkan, berdamai. Kemudian ada masa-masa di mana hidup terasa membahagiakan. Kemudian datar. Dan kemudian, masuk kembali dalam momen penderitaan.
Tapi seharusnya, aku tidak kalah kan dengan momen? Tidak seharusnya aku menyerah pada keadaan, kan? Justru sebaliknya, harusnya aku bisa menikmati segala hal tersebut.
Kini, aku sedang berada pada masa-masa kritis. Di mana aku diharuskan untuk bertindak, mau tidak mau. Berpikir, suka tidak suka. Mempertimbangkan semua hal dengan masak-masak. Agar tak terjatuh di masa yang akan datang.
Seringnya, aku hanya ingin, tanpa tindakan yang berarti. Mengaku sudah berupaya keras, namun ternyata hanya bermalas-malasan seharian di ruanganku...
Kata seseorang, menjadi dewasa berarti akan semakin jarang tersenyum. Maka dari itu kita harus memaksakan untuk terus tersenyum, dalam keadaan paling menyakitkan sekalipun. Aku memaknai pernyataan itu sebagai suatu hal yang ada benarnya. Mungkin semakin bertambah umur kita, akan semakin banyak penderitaan yang kita alami, semakin terjal jalan yang akan kita lewati, semakin banyak teman yang datang-juga pergi. Kata orang bijak, semua itu harusnya bisa kita ambil pelajaran, pelajaran dari segala kesakitan, kesulitan, dan kehilangan.
Aku sering berpikir begitu. Bahwa segala kejadian memang bisa diambil pelajaran. Bahwa semua kejadian buruk yang kualami selama ini, adalah proses menuju aku yang dewasa. Namun, aku juga sering berpikir bagaikan seorang yang frustasi. Sakit hati, marah, benci, malu atas semua yang terjadi. Membenci orang-orang yang menyakitiku, iri dengan orang-orang yang lebih daripada aku. Sering.
Tapi aku akhirnya sadar, jika momen-momen yang menyakitkan itu akan berlalu. Sakitnya, tersembuhkan oleh waktu. Meski masih terekam dalam memori. Sebagian masih jelas, sebagian kabur. Memafkan, berdamai. Kemudian ada masa-masa di mana hidup terasa membahagiakan. Kemudian datar. Dan kemudian, masuk kembali dalam momen penderitaan.
Tapi seharusnya, aku tidak kalah kan dengan momen? Tidak seharusnya aku menyerah pada keadaan, kan? Justru sebaliknya, harusnya aku bisa menikmati segala hal tersebut.
![]() |
| credit : favim.com |
-Dibuang sayang,
3/12/2014

Nulis lagi din kwkk
BalasHapusGantian lah mana tulisan lu wuuu
Hapus