Senin, 24 Desember 2018

Kamu Harus Lolos


Judul di atas bukan perkataan dari orangtua, keluarga, saudara, atau sahabat. Kalimat itu datang dari orang-orang yang tidak di kenal sebelumnya, namun sama-sama sedang berjuang.

Jadi selama masa pencarian pekerjaan (dan jati diri) ini sebenarnya banyak pelajaran yang bisa aku petik. Tapi hal ini baru terlintas tadi malam pukul 00 pas mau tidur, yaa mungkin itu sebabnya hidayah itu perlu dijemput, karena kalo nggak mikir dulu mungkin aku nggak bakal dapat hikmah-hikmah itu.

Selama 4 bulan ini (Agustus – November), aku udah mengikuti beberapa kali rangkaian rekrutmen di beberapa perusahaan. Nggak banyak sih, baru kurang dari 5 perusahaan. Tapi aku cuma mau cerita 2 kejadian aja.

Bulan lalu aku dipanggil suatu perusahaan untuk melakukan tes wawancara. Tempatnya di sebuah kota besar yang jauh dari tempat tinggalku Jogja, memakan waktu sekitar 8 jam bila menggunakan kereta. Ah, perjalanan naik kereta ini juga meninggalkan kesan tersendiri buatku, nanti akan aku tulis di judul yang berbeda.

Dengan persiapan yang dibuat semaksimal mungkin karena terbatasnya waktu, aku  janjian bertemu di kota itu dengan tiga teman seperjuangan. kita menginap di hotel murah dan berada di kamar yang sama agar lebih irit. Hari sebelum hari wawancara, kuyakinkan diri bahwa aku sudah melakukan persiapan terbaik, dan bahwa yang sangat dibutuhkan saat ini adalah persiapan mental.

Waktu wawancara ku pun akhirnya datang. 2,5 jam sebelum jadwal wawancaraku aku sudah tiba di lokasi wawancara. Tempatnya di sebuah hotel mewah yang berada di kawasan pusat perbelanjaan besar. Sampai sana aku merasa kecil. Gila sih ini hotelnya mewah banget, pikirku. Saat bertemu dengan teman-teman peserta lain aku juga sempet merasa minder karena mereka cantik dan rapih-rapih. Namun segera kusingkirkan pikiran itu dan menunggu waktu dipanggil dengan tilawah. Emang kadang-kadang kalo lagi nunggu gini aku suka tilawah, seriusli bisa ngurangin deg-degan. Ditengah-tengah bacaanku, pintu yang ada disebelahku terbuka, menampilkan sesosok gadis yang sempat kutemui sebelumnya. Rupanya dia sudah selesai melakukan wawancara, dan terlihat bahwa dia lega sekali. Kemudian aku tanyai dia,

“Bagaimana?”

Dia menjawab sambil tersenyum manis “Baik-baik kok pewawancaranya, kamu pasti diterima. Kamu pasti diterima!” ucapnya antusias.

Hatiku menghangat atas responnya. Perkataannya benar-benar.... nice banget, good attitude aku pikir. Meski aku nggak tahu apa yang bakal terjadi di dalam sana nanti. Tapi gadis ini udah menimbulkan kesan buatku, kesan yang sangat baik. Kami sempat berkenalan tapi aku lupa namanya (kebiasaan ga bisa sekali langsung hafal nama), yang jelas semoga kita bisa bertemu lagi ya, mbak.

Cerita kedua adalah ketika aku mengikuti Seleksi Kemampuan Dasar (SKD) CPNS K******* pada bulan November yang lalu. Kala itu aku sedang menunggu untuk kami para peserta dipersilakan memasuki gedung tes. Karena nggak diperkenankan membawa barang apapun, aku pun nganggur. Ku putuskan untuk mengajak ngobrol orang di sebelahku saja, siapa tahu nyambung. Dan setelah berbasa-basi obrolan kita menyambung ke pekerjaan, kuliah, kesibukan dan seputar seleksi ini.  Oh iya, mbak yang aku ajak ngobrol ini berasal dari semarang dan udah pernah kerja di Jakarta sebelumnya, tapi aku lupa namanya (lupa terus ya Allah T.T). Nah pas ngobrol seputar formasi yang kuambil serta probabilitas kelulusannya dia langsung bilang,

“Wah kamu harus lolos! Pokoknya kamu harus lolos!” ucapnya dengan semangat.

Aku pun hanya tersenyum dan tiba-tiba panitia mempersilakan kita untuk masuk ruangan. Akhirnya aku bersebelahan dengan mbak itu waktu tes, dan kami sama-sama tidak lulus passing grade. Sedih, semoga mbaknya mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan lebih berkah.

Itu sedikit ceritaku hari ini. Yang aku dapat di sini adalah, bersikap dan berkata yang baik di mana pun, kapan pun, sama siapa pun, walau pun itu pada orang asing (tentu tetap dengan waspada juga), karena first impression itu sangat menentukan. Bersikap baiklah, karena siapa tahu orang itu akan menjadi perantara kita menuju kebaikan lainnya. Bersikap baiklah, siapa tahu sikap dan senyummu itu akan meringankan harinya yang sudah berat. Bersikap baiklah, siapa tahu di situ letak keberkahannya. J

Kamis, 29 November 2018

Become Pengangguran

Bismillah...

Kembali bertemu malam. Malam di mana tiada yang bisa ku lakukan, bingung tepatnya, nganggur. Hari ini tanggal 29 November 2018. Sudah lebih dari 4 bulan aku menganggur, jika aku belum diterima di perusahaan mana pun pada Desember nanti, entah apa yang akan terjadi. Barangkali aku akan mengambil pekerjaan kecil saja, kurasa. Yang penting kerja, aktif, tidak menganggur di rumah seperti ini. Kamu tahu bagaimana rasanya? Sangat menjengkelkan, rasanya tidak ada yang bisa dikerjakan dan rasanya tidak berguna. Iya aku masih beres-beres rumah, tahsin dan ngaji sesekali dan ngajar iqro pada petang hari, tapi selain itu? Tak ada yang kulakukan selain bereksperimen masak sesekali, merefresh email dan mantengin info lowker, membaca buku (yang udah habis ku bacain, besok mungkin aku akan berkeliling ke seluruh penjuru perpus yang ada di DIY). Merawat diri? sounds good, tapi bahkan aku masih males untuk melakukan hal yang seperti itu (haha benar-benar nggak feminim, ya?)
Pada waktu ini, aku jadi sangat merasa bahwa kita bisa melakukan banyak hal karena kita telah melakukan satu, dua atau beberapa hal sebelumnya. Maksudnya...makin kita melakukan banyak hal makin ingin kita melakukan hal lain lebih lagi, makin produktif deh...dan sebaliknya pas kita nggak ngapa-ngapain, kita tambah males ngelakuin suatu hal, padahal kita lagi selo, waktu kita lagi senggang (banget). Dan ujung-ujungnya kita nggak ngapa-ngapain. Dan aku udah berada di titik terjenuh mengenai hal ini. Aku jadi ngebandingin sama diriku pas lagi nganggur yang waktu habis lulus SMA dulu, kayaknya lebih banyak produktifnya dibanding sekarang. Kayaknya aku sempet nulis rutin beberapa hari sekali di blog, terus aku juga suka kayak eksperimen do it yourself gitu, dan sampe sekarang masih ada tuh bekasnya di kamar aku, coret-coretan di dinding kamar yang gak jelas, dan di mana waktu itu pikiranku masih kreatif dan liar banget. Maka aku nulis ini sebagai salah satu upaya untuk memberantas ke-unproductive-an ku (ada istilah lainnya ga sih?). Yaa walaupun Cuma nulis curhatan nggak jelas kaya gini...Sebenernya pun aku malu nulis ini tapi aku berpikir bahwa ini semua untuk pembelajaranku (dan kuharap bisa jadi pembelajaran yang lain juga), jadi besok pas aku nulis tentang keberhasilanku, pas keterima kerja misalnya (doain soon yaa!) aku masih bisa inget saat-saat aku ada di bawah kaya gini..Udah dulu yaa, Assalamu’alaikum!

Sabtu, 07 April 2018

Aku, FLP, dan Dakwah Kepenulisan

Sebuah Esai Motivasi

Aku suka membaca sejak kecil. Dulu ibu dan bapak suka sekali membelikan novel serial ‘Kecil-Kecil Punya Karya’ kepada anak-anaknya, aku dan kakak. Waktu itu aku hanya suka membaca saja, tapi tidak suka menulis. Hanya menulis di buku harian saja.
Namun semakin besar aku makin ingin menjadi penulis karena hobi membaca tersebut, hingga suatu saat aku diajak oleh seorang teman untuk mendaftar open recruitment reporter remaja di sebuah koran lokal di Yogyakarta. Waktu itu kelas sebelas SMA, dan aku diwaktu itu adalah seorang yang sangat pemalu dan kuper alias kurang pergaulan. Aku merasa tidak cukup berani untuk mendaftar, namun temanku terus mendorongku hingga akhirnya aku mendaftar dan mengikuti rangkaian seleksinya hingga aku lolos dan diterima menjadi salah seorang reporter dalam rubrik yang dikhususkan untuk para pelajar itu. Itu adalah pengalaman yang luar biasa. Di samping itu adalah pengalaman pofesional pertamaku di bidang kepenulisan, aku juga mendapatkan banyak relasi baru, teman-teman baru dari berbagai SMA se-provinsi. Saat itu aku pun jadi ingin kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi agar aku bisa menjadi reporter atau bekerja di bidang jurnalistik atau kepenulisan. Aku ingin melalui tulisan-tulisanku, orang-orang bisa terinspirasi.
Tapi dengan takdir Allah dan beberapa pertimbangan, akhirnya aku kuliah di jurusan manajemen, karena salah satu cita-citaku adalah menjadi seorang entrepreneur. Namun aku tak memadamkan semangatku untuk mengejar mimpi menjadi seorang penulis. Aku mendaftar UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang bergerak dalam bidang jurnalistik kampus pada tahun pertama aku memasuki bangku perkuliahan. Jadi meski aku tidak kuliah di jurusan komunikasi, aku tetap dapat mengembangkan diri di bidang jurnalistik melalui UKM tersebut.
Di saat bersamaan, aku mempunyai keinginan untuk menjadi pribadi muslimah yang lebih baik. Maka aku juga mendaftar di salah satu organisasi kerohanian di kampus. Di organisasi ini aku bertemu dengan teman-teman dan kakak-kakak yang sama-sama sedang memperbaiki diri dan dapat membimbingku hingga akhirnya banyak perubahan dalam diri ini, terutama pemahaman atas agama dan tentang dakwah. Di tempat ini pula aku benar-benar merasakan lezatnya iman dan ukhuwah.
Aku belajar bahwa setiap muslim adalah da’i. Bahwa kita hidup di dunia ini dikaruniai sebagai umat terbaik. Teringat sebuah tulisan dari seorang aktivis dakwah pascakampus, dokter Libritta Nuring Ratri
Da’wah adalah ahsanul amal
Dalam surat Fushilat (41): 33
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang berdakwah (menyeru) kepada Allah, mengerjakan amal saleh, dan berkata “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri.”
Ibynu Jarir Ath-Thabari rahimahullah mengatakan  dalam tafsirnya: Allah swt menyeru kepada manusia, siapakah yang lebih baik perkataannya selain orang yang : mengatakan Rabb kami adalah Allah, kemudian istiqamah dengan keimanan itu, berhenti pada perintah dan larangan-Nya, dan berdakwah (mengajak) hamba-hamba Allah untuk mengatakan apa yang ia katakan dan mengerjakan apa yang ia lakuakan.” (Tafsir Ath-Thabari, Jami’ul Byan Fi Ta’wil Al-Qur’an, 21/468).
Maka da’wah adalah ahsanul amal, sebaik-baiknya amal-berlandaskan keimanan, mematuhi segala perintah dan larangan, dilanjutkan dengan mengajak orang lainpada sesuatu yang ia sendiri katakan dan lakukan. Perhatikan bahwa aktivitas da’wah membuat kita semakin membenahi diri, namun pembentukan pribadi muslim bukan akhirnya. Mengajak orang lain merasakan kebahagiaan beriman yang seperti kita rasakan, adalah sebaik-baiknya amal.
Maka saat ini ketika aku sudah memasuki tahun ketiga dalam kuliahku dan kelulusan akan segera menyambut, aku berfikir bagaimana caranya agar tetap bisa menjadi da’i yang aktif. Aku pun memutuskan untuk mendaftar di Forum Lingkar Pena.
Aku ingin terus belajar dan belajar di bidang kepenulisan agar aku bisa berdakwah melalui tulisan. Karena zaman sekarang ini, ghozwul fikr sudah terjadi. Perang pemikiran di mana sebuah tulisan di sosial media atau di sebuah aplikasi chatting saja bisa menggiring opini publik. Musuh-musuh agama memanfaatkan dengan baik hal tersebut. Sedangkan masyarakat muslim di Indonesia sekarang ini bagai buih dalam lautan, tak terkira jumlahnya namun mudah sekali tercerai berai. Mudah diadu domba. Salah satu sebabnya menurutku karena kita tidak memiliki dasar keimanan yang kuat. Kita lahir di dunia ini berasal dari keluarga muslim maka kita pun otomatis beragama muslim namun kita tak pernah mempelajari agama kita sendiri. Berangkat dari hal tersebut, aku ingin menjadi da’i melalui tulisan, mengenalkan bagaimana sebenarnya agama kita, bagaimana sebenarnya Islam Rahmatan lil Alamin ini. Aku juga ingin menularkan lezatnya iman kepada saudara-saudara aku yang belum merasakannya.
Maka di FLP lah tempat aku belajar kepenulisan, karena aku mempunyai visi yang sama dengan FLP. Aku yakin orang-orang di dalamnya pun demikian, kita akan sama-sama belajar hingga kita bisa mensyiarkan Islam lewat tulisan ke setiap relung-relung jiwa masyarakat muslim di Indonesia dan dunia. Aku juga berharap, FLP akan menjadi keluarga baru untukku, keluarga yang saling mengingatkan dan menyemangati dalam berjuang di jalan Allah ini. Bismillah.... 

Jumat, 17 Februari 2017

Lamunan di Jalan; Biasa Kerja Keras

Sore ini seusai menghadiri launching KMIB di Auditorium FIB, aku menemani salah seorang teman membeli air mineral untuk konsumsi launching Ummati esok hari. Saat itu kita hanya berdua, dan ada dua kardus air yang harus kami angkut. Dari toko ke kampus, tidak ada masalah karena kami menggunakan sepeda motor. Sampai parkiran, kami harus mengangkutnya dengan berjalan kaki menuju mushola Abu Ubaid. Sudah kebiasaan kami-anak Ummati-, meletakkan persenjataan-persenjataan kami di sini. Mushola Abu Ubaid ini ada di lantai 2 gedung diploma ekonomi UGM. Masing-masing kmi membawa satu. Sadar kalau bawaanku berat, aku menyegerakan langkah. Temanku agak tergopoh-gopoh dibelakangku. Dan akhirnya kami menyelesaikan pekerjaan itu. Namun perasaanku biasa saja, berbeda dengan temanku yang terlihat kelelahan. 

Aku ingat, dulu aku juga begitu. Seingatku, aku membawa kardus seperti ini pertama kali ketika acara ramadhan tahun lalu yang diadakan Ummati. Aku begitu tergopoh membawa sebuah kardus berisi 48 cup itu. Beberapa bulan yang lalu aku melakukannya lagi dan saat itu aku berfikir “Ini tidak seberat yang lalu.” Lalu kini aku melakukannya tanpa keberatan.

Dalam perjalanan pulang aku terdiam. Menyadari betapa hal seberat apa pun jika dilakukan sering, pasti akan menjadi ringan juga. Seperti kardus tadi. Jadi, aku harus terbiasa kerja keras, hingga kerja keras itu tidak menjadi sesuatu yang berat, namun menjadi sesuatu yang biasa untukku. 


Yogyakarta, 17 Februari 2018



dini sadida

Senin, 06 Februari 2017

Hijrah dalam Secuil Perspektif




 Menurut kalian, apa itu hijrah?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hijrah /hij·rah / 1  berarti; n perpindahan Nabi Muhammad saw. bersama sebagian pengikutnya dari Mekah ke Medinah untuk menyelamatkan diri dan sebagainya dari tekanan kaum kafir Quraisy, Mekah; 2 v berpindah atau menyingkir untuk sementara waktu dari suatu tempat ke tempat lain yang lebih baik dengan alasan tertentu (keselamatan, kebaikan, dan sebagainya).

Ya, sudah diketahui secara umum bahwa kata hijrah merujuk pada berpindahnya Baginda Nabi Muhammad saw dari Makkah ke Madinah. Namun di sini ini aku akan sedikit (banget) mengulas arti kata hijrah yang merujuk pada arti hijrah dalam KBBI no 2; berpindah atau menyingkir untuk sementara waktu dari suatu tempat ke tempat lain yang lebih baik dengan alasan tertentu (keselamatan, kebaikan, dan sebagainya).
 


Hijrah, hijrah itu dari yang nggak pake hijab jadi pake. Dari yang hijabnya pendek jadi panjang. Jadi yang nggak pake kaos kaki jadi pake terus. Dari yang ngajinya seminggu sekali jadi sehari satu juz, dari yang nggak pernah dhuha jadi dhuha terus, dari yang nggak pernah qiyamul lail (karena nggak bisa bangun pagi) jadi sering-sering qiyamul lail, dan masih banyak lagi. 

 Baca cerita Evita di sini.

Nggak cuma urusan ibadah aja, aku mengartikan hijrah itu juga semacam self-improvement. Misalnya hijrah dari yang nggak bisa ngomong depan orang banyak, jadi bisa sedikit-sedikit, dari minta uang dari orangtua mulu jadi belajar cari uang sendiri, dari yang takut coba hal-hal baru sekarang jadi suka cobain dikit-dikit, dari yang nggak pernah bisa nahan emosi sekarang belajar managepelan-pelan.. Hijrah dari wates ke jogja, hiijrah dari kenangan pahit di masa lalu menjadi memaafkan masa lalu.

Hijrah=Pindah. Pindah ke hal yang lebih baik. Dari yang nggak bisa jadi bisa. Semua orang pasti pernah merasakannya dong? Ya tergantung alasanya. Bagiku, hijrah itu semua hal yang membuatku berubah karena, dari, dan untuk Allah. 

---
Hai, aku ada project nulis nih setelah sekian lama nggak ada apa-apa (?). Jadi, aku sama temanku, Evita bakal melaksanakan project nulis kita berdua dengan hastag #projectberdua yang pelaksanaannya tiap 2 minggu sekali. Tujuannya ya buat melatih skill menulis kita berdua. Nanti, temanya kita musyawarahkan berdua dan bakal dipos paling lambat malam senin, kayak sekarang ini, hihi. Aku terinspirasi dari seorang mbak-mbak blogger yang keren yang juga ngadain project semacam itu dengan temannya. Kalo nggak salah, namanya mbak Silva.
Nah gitu deh, doakan kita istiqomah yak. Amiin


Dini Sadida