Rabu, 16 Juli 2014

Ramadhan Masa Kecilku

Saat ini Bulan Ramadhan. Bulan yang paling saya tunggu-tunggu waktu kecil dulu. Sekarang juga masih, sih. Tapi, ada suatu kesedihan jika mengingat Bulan Ramadhan ini.

Dulu, saat Bulan Ramadhan, kampung saya ramai dan meriah. Ramai oleh aktifitas anak-anak. Dulu, di mushola kampung saya, ada pesantren kilat. Lalu di akhir ramadhan, anak-anak yang rajin berangkat ke mushola akan diberi hadiah. yang perempuan berupa jilbab putih instan dengan tepi berenda dan bunga-bunga kecil tepat di atas rendanya. Yang laki-laki? Kurang tau, hahaha. Saya waktu itu selalu memikirkan apakah saya ramadhan kali ini akan mendapat hadiah atau tidak, sampai-sampai tak memperhatikan orang lain. Dan saya selalu dapat, meski hadiahnya ya kerudung yang itu-itu saja, sama seperti ramadhan tahun sebelum-sebelumnya, hanya mungkin warna bunga-bunga di tepinya yang berbeda. 

Lalu bertambah umur, saya dan teman-teman mulai bandel. Saya sangat ingat saat ramadhan waktu saya kelas lima SD. Saat itu di kampung saya, anak-anak seusia saya sehabis takjilan di mushola, pergi ke depan rumah salah satu tetangga. Mau apa? Mau melihat anak-anak laki-laki bermain bola api. Tapi bolanya kecil gitu kayaknya, lebih besar dikit dari bola softball lah kira-kira. Terus bola itu dikasih minyak dan diberi api. Nggak tau bola itu terbuat dari apa kok bisa api itu terus menyala dan tidak membakar bola. Coba tanyakanlah pada rumput yang bergoyang  ahli kimia. Dan kemudian setelah api menyala anak laki-laki pada mainin bola itu seperti main sepakbola gitu. Nggak tau kenapa mereka bisa nggak kepanasan saat menyentuh bolanya, padahal kaki mereka telanjang. 

Selain anak laki-laki yang bermain sepak bola api, kita juga suka menyalakan kembang api. Kadang kembang api tetes, kadang juga membuat sup buah bersama, dan anak laki-laki pada minta seenaknya padahal mereka nggak ikut buat dan urun bahan. 

Ah dan tentu saja, kita seperti anak-anak lain, anak kampung saya juga suka bersepeda atau jalan-jalan sehabis sholat subuh. Kadang, ada anak yang dengan seenaknya meninggalkan ceramah pagi sehabis sholat subuh hanya untuk bersepeda. Habis bersepeda atau jalan-jalan kita balik lagi ke sekitar mushola. Menyalakan mercon, menjahili teman lain. Bermain. Main di depan mushola. Kebanyakan anak laki-laki pada main petak umpet, atau apa sih itu yang lempar-lempar sendal terus pada sembunyi gitu. Mirip sih sama petak umpet. Kalau saya dan beberapa teman perempuan  saya sukanya main berbie atau bongkar pasang atau kalau nggak masak-masakan. Iya, sepagi itu. Dan itu beneran nggak  ngerasa ngantuk. Semangat banget deh kalau yang namanya main. 

Jaman udah berubah. Saya dan teman-teman sepermainan pun tumbuh, dari anak-anak menjadi remaja seperti sekarang. Semakin lama, Ramadhan di kampung kami semakin sepi. Tidak ada acara pesantren kilat atau hadiah di akhir ramadhan. Tidak ada yang bermain sehabis magrib. Bahkan, takjilan pun, teman-teman sepantaran saya sedikit sekali yang datang. Sibuk sendiri-sendiri. Beberapa memang sibuk, beberapa malas. Tidak ada lagi bersepeda, jalan-jalan, atau bermain setelahnya. Kebanyakan karena malas dan ngantuk. Sepi. 

Mungkin memang sudah bukan waktunya bermain-main lagi. Tapi apa tidak bisa kah, sesekali kita berkumpul bersama lagi? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar