Selasa, 24 Juni 2014

Tamu

       Malam itu aku sedang makan malam bersama keluargaku di ruang makan ketika ada suara ketukan pintu diiringi salam dan bunyi khas kantung plastik.
       "Pasti laundry," terkaku karena mendengar bunyi kantung plastik.
        Ibuku langsung membuka pintu ruang tamu yang letaknya bersebelahan dengan ruang makan.
        "Selamat malam, Bu," kata seseorang di balik pintu.
        "Oalah Bu Mandor to, monggo mlebet Bu," kata ibu.
        Oh ternyata dugaanku salah besar. Orang itu bukan tukang laundry langganan keluargaku. Orang itu ternyata Bu Mndor, istri dari pejabat tinggi di desaku yang biasanya dipanggil Pak Mandor.
        "Tumben sekali datang kemari," tanyaku dalam hati. Bukannya aku berpikir negatif, hanya saja kenyataannya memang sebelumnya ia tak pernah bertandang ke rumah kami.
         Tamu itu lalu berbinsang-bincang dengan ibu dan bapak. Sebenarnya aku tak terlalu mendengarkan pembicaraan mereka yang tentu saja akan terdengar olehku, maka tetap saja aku mendengar samar-samar.
         "Niki wonten oleh-oleh sekedhik."
         ".......inggih putri kula ajeng nyalonke, nyuwun donga lan restunipun nggih."
          What? Ada udang dibalik batu rupanya. Di desa sekecil inipun, ada yang berbuat seperti itu. Tentu saja.
         Makanan pemberian Bu Mandor itu akhirnya ibu bagikan kepada anak-anak yang biasa mengaji di mushola dekat rumah kami. Aku tentu tidak mau memakannya. Sama sekali tidak tertarik. Mungkin memang niat ibu itu baik, hanya meminta restu. Aku akan mencoba menerima pemahaman itu dan berpikir positif.
         Ketika di jalan pulang dari mushola ibu bertanya pada tetangga yang kebetulan pulang bersama kami.
         " Wau Bu Mandhor ndhayoh ten daleme jenengan mboten?" tanya ibu.
         "Inggih, Bu. Biasa to Bu, nek gek butuh moro, nek wes dadi lali."
          Aku tersentak.



         Hari ke-9. 21 hari menulis.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar